Kisah Sukses Restorasi Hutan Wanagama
Kisah Sukses Restorasi Hutan Wanagama
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam yang melimpah, memiliki tanggung jawab besar dalam melestarikan sumber daya alamnya. Salah satu upaya yang telah menghasilkan kesuksesan yang luar biasa adalah restorasi hutan Wanagama di Gunung Kidul, Yogyakarta. Hutan Wanagama, yang didirikan pada tahun 1964, telah menjadi simbol keberhasilan dalam menjaga keanekaragaman hayati dan memulihkan lahan yang dahulu tandus di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi perjalanan Wanagama yang luar biasa dalam membangun kehidupan hijau untuk masa depan.
Sekilas tentang Hutan Wanagama
Hutan Wanagama didirikan dengan tujuan mempromosikan penelitian dan praktik bagi mahasiswa, akademisi, dan peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) serta institusi lainnya. Wanagama bekerja untuk menemukan cara terbaik dalam melestarikan hutan dan menjaga lahan yang tandus di Indonesia.
Banyak fasilitas penelitian dan pelatihan tersedia di lokasi ini, termasuk ruang kelas, asrama, auditorium, perpustakaan, rumah kaca, laboratorium di bidang silvikultur, agroforestri, dan pemuliaan pohon. Hutan Wanagama telah menjadi pusat penelitian pemuliaan pohon terkemuka di Indonesia. Kini, hutan ini memiliki lebih dari 100 plot percobaan tentang pemuliaan pohon, seperti uji spesies, uji provenans, uji keturunan, dan uji hibridisasi.
Selain di Gunung Kidul, hutan lain yang dikelola oleh Wanagama adalah Wanagama II/Silva Gama, yang terletak di Muara Tebo, Jambi, Sumatera. Hutan ini mencakup luas 28.000 hektar yang dapat dijangkau melalui jalan langsung dari Muara Tebo atau dengan menggunakan kapal feri melintasi danau. Hutan ini menawarkan kesempatan bagi para mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman langsung di hutan hujan tropis lembab serta menyediakan fasilitas dan sumber daya untuk mendukung studi lapangan dan penelitian, seperti asrama, rumah kaca, tempat pembibitan untuk berbagai jenis pohon hutan hujan tropis, pemantauan curah hujan/iklim, dan arboretum. Beberapa area hutan dikelola oleh staf Fakultas Kehutanan UGM khusus untuk penelitian tentang pengelolaan hutan hujan tropis lembab. Mitra penelitian Wanagama dari KEEC Jepang, ICRAF, CIFOR, dan lembaga penelitian lainnya juga telah melakukan banyak proyek penelitian lapangan di hutan ini.
Sejarah Wanagama: Dari Tanah Tandus menjadi Hutan yang Makmur
Pada zaman penjajahan Belanda dan setelah kemerdekaan Indonesia, hutan di Pegunungan Sewu terus dieksploitasi oleh masyarakat setempat. Akibatnya, lahan yang sebelumnya subur berubah menjadi kering dan tidak cocok bagi tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk bertahan hidup. Masyarakat lokal terpaksa menghadapi kelaparan, kekurangan gizi, dan tidak memiliki mata pencaharian.
Kekhawatiran atas kondisi ini mendorong para akademisi dari UGM – Soedjarwo, Soedarwono, Darmakoem, Pardiyan, RIS Pramoedibjo, Oemi Hani’in Soeseno, Soekotjo, dan Tri Setiyo – untuk memulai proyek restorasi hutan pada tahun 1960-an. Wanagama mendapatkan namanya ketika Dinas Kehutanan Yogyakarta memberikan Fakultas Kehutanan UGM sepuluh hektar tanah untuk bercocok tanam sutra, di mana pohon murbei ditanam untuk memberi makan sekitar 30.000 ulat sutra setiap hari.
Proyek ini melibatkan peran masyarakat berdasarkan kearifan lokal Wonokerto Mangkunegaraan, yang berarti melestarikan hutan dengan partisipasi masyarakat sekitar dalam melindungi, menjaga, dan memanfaatkan manfaatnya. Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM juga diarahkan untuk memusatkan penelitian mereka pada proyek ini.
Meskipun proyek ini menghadapi tantangan pendanaan yang tidak stabil dan kerusakan yang parah akibat eksploitasi bertahun-tahun, keuletan dan ketekunan para pionir Wanagama membuahkan hasil pada tahun 1978 ketika hutan tersebut berhasil dihidupkan kembali. Keberhasilan ini memberikan kontribusi besar bagi kemakmuran masyarakat sekitar serta penelitian dan industri kehutanan.
Pada tahun 2003, salah satu pionir Wanagama, Oemi Hani’in Soeseno, dianugerahi Penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi bagi pahlawan lingkungan Indonesia. Sejak tahun 2003, Wanagama telah menerima pendanaan dari Yayasan Oemi.
Semangat Wanagama adalah mengubah lahan tandus menjadi ekosistem yang mampu menjalankan fungsi pendukungnya, sistem penyediaan, fungsi pengaturan, dan fungsi budaya dan pendidikan. Pusat ini menekankan bukan hanya kontribusi praktik silvikultur yang baik dan penelitian, tetapi juga pentingnya integrasi sosial dan ekonomi dalam upaya restorasi hutan.
Dampak Wanagama bagi Masyarakat
Wanagama telah memberikan dampak nyata bagi masyarakat setempat melalui sumber daya air yang berkelanjutan dan pasokan produk hutan untuk industri kayu dan non-kayu. Hutan ini juga menjadi habitat bagi berbagai spesies satwa liar.
Salah satu dampak nyata dari Wanagama adalah dalam sektor peternakan. Pakan ternak merupakan faktor biaya terbesar dalam bisnis peternakan, mencapai sekitar 80 persen. Sekarang, penduduk lokal dapat memperoleh pakan ternak secara gratis dari pohon-pohon dan rumput-rumput Wanagama. Hal ini membantu mengurangi beban biaya bagi peternak lokal dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Wanagama juga menyediakan fasilitas untuk pembelajaran, penelitian, perkemahan, kegiatan outbound, dan jalur trekking dengan pemandangan pegunungan kapur. Museum kayu di Wanagama menampilkan koleksi kayu Indonesia yang kaya. Sekitar 10.000 orang mengunjungi Wanagama setiap tahun, termasuk sekolah, perguruan tinggi, lembaga pemerintah, dan swasta. Hingga tahun 2016, sekitar 3000 pegawai pemerintah telah mengikuti pelatihan di Wanagama. Banyak pemimpin dunia juga mengunjungi Wanagama untuk melihat langsung kisah sukses dalam mengubah lahan yang tandus menjadi hutan yang hijau.

Mengerjakan proyek Wanagama telah membekali warga dengan keterampilan praktis menanam pohon, mendukung perekonomian masyarakat setelah 30 tahun.
Kontribusi Wanagama bagi Kehutanan Indonesia
Perkebunan industri membutuhkan tanaman yang produktif, efisien, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, teknik silvikultur intensif sangat diperlukan. Wanagama telah melakukan penelitian pemuliaan pohon dengan menggunakan uji genetik, yang melibatkan pengujian spesies, pengujian provenans, dan uji keturunan. Ketiga langkah ini sangat penting untuk memastikan pemilihan jenis dan sumber benih yang tepat untuk perkebunan industri.
Penelitian pemuliaan pinus di Wanagama telah menghasilkan bibit pinus unggul. Bibit-bibit ini telah digunakan untuk menanam hutan pinus di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dan perkebunan bibit pinus di Cijambu, Baturaden, dan Garahan bekerja sama dengan Perhutani.
Wanagama juga telah mengumpulkan benih pohon cendana dari Nusa Tenggara Timur pada tahun 1993 untuk konservasi dan penelitian pemuliaan ex situ. Pohon cendana adalah spesies pohon yang sangat berharga yang terancam punah dan banyak digunakan sebagai bahan ukiran, kosmetik, dan parfum.
Di Kalimantan, Wanagama telah membantu memperbaiki area lahan yang rusak parah akibat izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masif. Petugas kehutanan di Wanagama menanam benih meranti berkualitas tinggi untuk menyelamatkan area tersebut.
Wanagama juga telah memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1994. Melalui proyek kerjasama antara Pusat Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-UNESCO tentang topik “Tree Improvement and Biotechnology of Three Selected Species,” Wanagama telah membantu pembangunan fasilitas penelitian bioteknologi di Parung, Bogor.
Hingga saat ini, Wanagama terus mendukung pengembangan rekayasa kehutanan dan berperan sebagai pusat pendidikan, penelitian, pelatihan, pengembangan teknis kehutanan, dan pelestarian sumber daya genetik hutan di Indonesia.
Membangun Kehidupan Hijau untuk Masa Depan
Wanagama telah mencapai banyak kesuksesan dalam restorasi hutan dan membangun kehidupan hijau untuk masa depan Indonesia. Melalui praktek silvikultur yang baik, penelitian yang inovatif, dan keterlibatan masyarakat, Wanagama telah berhasil mengubah lahan tandus menjadi ekosistem yang mampu menjalankan fungsi pendukung, sistem penyediaan, fungsi regulasi, dan fungsi budaya dan pendidikan.
Dampak positif Wanagama terhadap masyarakat sekitar sangat besar. Masyarakat lokal telah merasakan manfaatnya melalui pasokan air yang berkelanjutan, sumber daya pangan, dan pengurangan biaya dalam usaha peternakan. Selain itu, Wanagama telah menjadi tujuan edukasi dan penelitian bagi ribuan orang setiap tahunnya, memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar dan memahami pentingnya konservasi alam dan keberlanjutan.
Melalui penelitian pemuliaan pohon dan upaya penyelamatan spesies langka, Wanagama telah memberikan kontribusi penting dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia. Restorasi hutan yang berhasil di Wanagama juga memberikan teladan bagi upaya restorasi hutan di seluruh negara.
Dengan kisah suksesnya dalam restorasi hutan, Wanagama telah membuktikan bahwa dengan upaya yang gigih dan komitmen yang kuat, lahan tandus dapat berubah menjadi hutan yang subur dan menyumbang pada kehidupan masyarakat serta penelitian dan industri kehutanan. Wanagama adalah contoh nyata yang menginspirasi kita semua untuk menjaga kekayaan alam kita dan membangun masa depan yang hijau dan berkelanjutan.
Jika Anda ingin mempelajari tentang penyelamatan, perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan untuk kelestarian sumber daya hutan sebagai penyangga kehidupan secara berkelanjutan, Anda dapat mengikuti training yang kami sediakan =>
Konservasi Sumber Daya Hutan
Referensi
Jaufalaily, N. Wanagama Science Eco-Edu Forest. https://sustainabledevelopment.ugm.ac.id/